Iklan

Perjalanan Panjang PPWI dan SPRI ‘Menggugat Dewan Pers’ di Pengadilan Negeri Jakpus.

05 Juli 2018, Juli 05, 2018 WIB Last Updated 2018-07-04T18:59:30Z
Sebagaimana diketahui, PPWI bersama SPRI tengah melakukan gugatan Perbuatan melawan Hukum (PMH) terhadap Dewan Pers. Gugatan dilakukan atas kebijakan dan aturan Dewan Pers yang selama ini telah mengkebiri kebebasan kemerdekaan Pers.

Tentunya kebijakan yang mewajibkan semua wartawan ikut Uji Kompetensi Wartawan – UKW lewat Lembaga sertifikasi Profesi bentukan Dewan Pers, bertentangan dengan pasal 18 Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan mewajibkan Perusahaan Pers diverifikasi oleh Dewan Pers seperti SIUP era Orba.

Kedua kebijakan tersebut berpotensi mengancam wartawan yang belum ikut UKW dan media yang belum diverifikasi dapat dikriminalisasi. “Terbukti Dewan Pers sering membuat rekomnedasi kepada pengadu agar menueruskan perkara pers ke aparat klepolsisian berdaasrkan pertimbanagn bahwa wartawannya belum ikut UKW dan medianya belum diverifikasi,” ujar Ketum SPRI

Sidang Gugatan Ke 1 PMH Terhadap Dewan Pers.

Adapun gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Dewan Pers untuk sidang perdana dilakukan pada pada Rabu, 9 Mei 2018 pukul 09.00 WIB di PN Jakarta Pusat. Namun sidang hanya berlangsung sekitar 10 menit.

Hal demikian, lantaran pihak Dewan Pers selaku tergugat tidak hadir tanpa alasan. Sehingga Majelis Hakim yang dipimpin Abdul K memutuskan sidang ditunda pada Tanggal 21 Mei 2018.

Sidang Gugatan Ke 2 PMH Terhadap Dewan Pers pada Senin, 21 Mei 2018.

Pada sidang ke 2 atas perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Dewan Pers oleh sejumlah organisasi kewartawanan terus berjalan. Kali ini Pada Senin, 21 Mei 2018, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah berlanjut sidang gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Dewan Pers, dengan agenda gugatan dari kuasa hukum penggugat, Dolfie Rompas.

Dolfie menyuarakan protesnya terkait “legal standing” atau keabsahan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo sebagai pemberi kuasa kepada dua orang kuasa hukum untuk mewakili tergugat menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (21/5/2018).

Dolfie mempertanyakan surat pleno Dewan Pers (DP) yang memilih Yosep Adi Prasetyo sebagai Ketua Dewan Pers hanya ditanda-tangani oleh tergugat seorang diri padahal seharusnya ikut ditandatangani oleh seluruh anggota Dewan Pers.

Sidang Gugatan Ke 3 PMH Terhadap Dewan Pers pada Senin, 30 Mei 2018.

Sidang gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ke Tiga berlangsung pada Rabu, 30 Mei 2018. Dewan Pers selaku tergugat Perbuatan Melawan Hukum untuk membuktikan legal standingnya sebagai pemberi surat kuasa kepada ke dua pengacaranya Frans Lakaseru dan Dyah HP. 
Namun, setelah diberi waktu selama satu minggu, kuasa hukum Dewan Pers masih tidak bisa menyerahkan dokumen yang diminta majelis hakim pada siding sebelumnya, sebagai bukti bahwa Yoseph Adi Prasetyo memiliki legal standing untuk menunjuk keduanya sebagai kuasa hukum.

"Kenapa dokumen itu (keabsahan tergugat) begitu lama dibuat," tandas Ketua Majelis Hakim Abdul Kohar saat sidang ke 3 berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (31/05) siang.

Sidang Gugatan Ke 4 PMH Terhadap Dewan Pers pada Senin, 7 Juni 2018.

Selanjutnya untuk sidang Ke empat perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Dewan Pers oleh dua Organisasi Jurnalis PPWI dan SPRI dilaksanakan pada Kamis, 7 Juni 2018. Sidang yang  berlangsung dari pukul 11.15 WIB itu mengagendakan penyerahan dan verifikasi surat Kuasa dari pihak Dewan Pers kepada Majelis Hakim.

Dewan Pers pada kesempatan tersebut diwakili kuasa hukumnya, Frans dan Dyah, telah membawa dan menyerahkan sejumlah berkas, di antaranya Surat Kuasa yang ditandatangani oleh seluruh anggota Dewan Pers.

Namun, saat mengulas setiap dokumen yang diperlihatkan dan diserahkan kepada majelis hakim, terdengar komentar singkat yang cukup menggelikan dari Ketua Majelis Hakim, Abdul Kohar. Pasalnya, semua tanda tangan para anggota Dewan Pers di surat kuasa tersebut seluruhnya bermeterai Rp6.000.

PPWI bersama SPRI yang pada intinya memberikan apresiasi atas perkembangan dan kesediaan pihak tergugat Dewan Pers untuk memenuhi permintaan keabsahan kuasa hukum yang mewakili lembaga tersebut. 

Satu kejanggalan dari penyerahan kelengkapan surat kuasa oleh kuasa hukum Dewan Pers di persidangkan ke 4, dari Sembilan orang anggota Dewan Pers yang ikut bertanda tangan di surat kuasa terdapat nama Harry Sarundajang.

Pasalnya, Sarundajang adalah Mantan Gubernur Sulawesi Utara sejak 20 Februari telah bertugas sebagai duta Besar dan bekuasa penuh Republik Indonesia untuk Republik Filipina merangkap Kepulauan Marshall dan Republik Palau.

Hal ini menggelitik para penasehat hukum penggugat, yang terdiri atas Dolfie Rompas, Beatrix Nidya Pontolaeng, Hanoch A.P. Pangemanan, Asterina Julifenti Tiarma, dan Tondi Madingin A.N. Situmeang. Mereka mempertanyakan “keanehan” tersebut.

“Pak Sarundajang sudah sejak beberapa bulan lalu menjadi Duta Besar di Philipina, apakah Beliau masih bisa menandatangani surat kuasa dari Dewan Pers?” tanya Rompas mewakili team penasehat hukum penggugat.

Ini berarti Dewan Pers sudah tidak independen lagi karena ada oknum di dalamnya kini menduduki jabatan dalam pemerintahan sebagai Duta Besar. Seharusnya sebelum dilantik sebagai Duta Besar telah resmi mengundurkan diri sebagai Anggota Dewan Pers,” pungkas Mandagi.

Sementara itu, Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke mengomentari “keunikan” Dewan Pers terkait keberadaan oknum pejabat pemerintah di tubuh lembaga yang oleh ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, wajib bersifat independen.

“Pantas saja Dewan Pers jadi semacam pembunuh wartawan dimana-mana, pengurusnya terindikasi berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu,” ujar lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.
Kenyataan itu, lanjut Wilson, telah menjadi “bukti nyata yang tidak terbantahkan” bahwa Dewan Pers melanggar UU No. 40 tahun 1999, khususnya pasal 15 ayat (1) dan ayat (3).

Menurut Undang-Undang Pers, untuk menjadi anggota Dewan Pers diatur dalam pasal 15 ayat (3) UU No. 40 tahun 1999, yakni: “Anggota Dewan Pers terdiri dari :

a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.”

Dari ketentuan pasal 15 ayat (3) tersebut, sebut Wilson, tidak satupun poin yang menyatakan bahwa pejabat pemerintah, termasuk duta besar, perwakilan pemerintah di dalam maupun di luar negeri, menteri, dan mereka yang hidupnya dibiayai atau digaji dari uang negara, boleh menjadi anggota Dewan Pers. 

“Jadi, sangat wajar jika rekan saya dari SPRI mempertanyakan keberadaan Sarundajang yang menjabat Dubes RI sejak 20 Februari 2018, namun hingga hari ini masih bercokol di Dewan Pers. Kita perlu mengoreksi kebijakan pemerintah dalam mengelola pers dengan menempatkan pejabat aktif pemerintahan di lembaga yang seharusnya independen itu,” tegas lulusan Master of Science in Global Ethics dari Birmingham University, Inggris itu.

Lebih jauh, Wilson juga mempertanyakan pola kerja administratif Dewan Pers terkait surat kuasa yang diberikan kepada majelis hakim pada persidangan Kamis, 7 Juni 2018 pagi tadi. “Surat Kuasa penunjukan penasehat hukum Dewan Pers yang ditandatangani oleh sembilan anggotanya, bertanggal 28 Mei 2018.

Persidangan ke-3 lalu tertanggal 31 Mei 2018, 4 hari setelah surat kuasa dimaksud tersedia. Mengapa pada saat sidang ketiga itu mereka belum bisa menyerahkan surat kuasa yang telah tersedia di tanggal 28 Mei itu? Saya boleh curiga dong, bahwa surat kuasa itu hasil rekayasa, bahkan mungkin terjadi pemalsuan di sana,” tukas Wilson penuh tanda tanya.


Sidang Gugatan Ke 5 PMH Terhadap Dewan Pers pada Senin, 4 Juli 2018.

Pada sidang lanjutan ke 5 atas perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Dewan Pers oleh dua Organisasi Jurnalis PPWI dan SPRI dilaksanakan pada Rabu, 4 Juli 2018. dengan agenda masih seputar membuktikan legal standing atau status hukum masing-masing pihak.

“Tadi ada komplen dari pihak tergugat Dewan Pers, bahwa salah satu legal standing dari PPWI belum lengkap,” ujar Kuasa hukum dua oraginasi PPWI dan SPRI, Dolfie Rompas, usai persidangan, Rabu (4/7/2018).

“Pemahaman mereka (penasihat hukum Dewan Pers), bahwa legal standing organisasi itu harus berbadan hukum. Padahal di dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang Ormas, jelas di pasal 16, bahwa Organisasi Masyarakat itu, bisa berbadan hukum bisa juga tidak berbadan hukum,” terang Rompas.

Rompas menjelaskan, “Untuk PPWI sendiri itu sudah memiliki SK Kesbangpol, dan sudah kita tunjukan, tetapi masih kurang puas, tidak apa-apa. Saya suruh mereka coba membaca lagi undang-undang, agar supaya mengerti apa yang dimaksud daripada undang-undang tersebut,” ujarnya.

“Jadi jelas, bahwa tidak ada masalah terkait legal standing penggugat, baik dari PPWI ataupun dari SPRI,” imbuhnya.

Menariknya, Dewan Pers tidak hanya mendapatkan Gugatan oleh dua organisasi jurnalis PPWI dan SPRI. Namun juga dari puluhan pimpinan organisasi jurnalis bersama ratusan awak media, juga para pemilik media tengah melakukan aksi solidaritas jurnalis Tolak Kriminalisasi terhadap Wartawan di depan Gedung Dewan Pers.

Usai melakukan aksi solidaritas, sejumlah Pimpinan Jurnalis bersama ratusan awak media beserta pemilik media pun beranjak menuju Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, untuk mengikuti persidangan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Dewan Pers yang kemudian berlanjut menuju Kantor Ombudsman.


Forwara Sumut Minta Presiden Jokowi Bubarkan Dewan Pers

Terkait adanya Surat Edaran 264/DP-K/V/2018 Dewan Pers, Alian mengatakan, tak perlu dilakukan dan itu sama saja menghina para pemilik Perusahaan Pers, Organisasi Pers dan para Jurnalis. Tentunya, pihak-pihak terkait faham betul mengenai mana Perusahaan Pers, Organisasi pers  dan Pers yang benar.

“Jadi gak perlu adanya Surat Edaran tersebut, emang Dewan Pers pernah kasih apa kepada Perusahaan Pers, Organisasi pers  dan Pers? Malah membuat banyak peraturan yang akhirnya mempersulit itu semua,” tegas Alian yang juga mantan Kordinator Liputan Waspada Online.

Lanjutnya, Presiden Jokowi malah mempermudah semua urusan, di semua lini dan semua birokrasi harus cepat tidak lamban. Namun, dengan Dewan Pers yang sekarang ini membuat suasana tidak kondusif sebaiknya dibubarkan saja.

“Gak perlu ada Dewan Pers. Cukup lembaga organisasi jurnalis aja yang bisa membuat insan persnya tenang,” tukasnya, seperti dikutip patrolinews.com Minggu (3/6/2018).

Alian kembali menegaskan, bila dirinya Menteri Informasi dan Komunikasi pastinya akan membubarkan Dewan Pers, karena tidak punya nilai jual kepada jurnalis.

“Dewan Pers malah menjadi pemisah dengan para Perusahaan Pers, Organisasi pers  dan Pers sendiri dengan adanya Surat Edaran tersebut. Sekali lagi saya katakan, sebaiknya Surat Edaran itu gak perlu dibuat, karena masyarakat dan Publik tahu mana yang benar mana yang tidak. Apalagi sampai ada yang mengancam tinggal masukkan kepenjara selesai perkara,” tegas Alian


Pengamat IPI Minta Ketua Dewan Pers Mundur Jika Tak Mampu

Jerry memuji langkah brilian yang diambil PPWI dan SPRI demi membantu wartawan. Jerry merasa heran, dimana sudah tiga kali sidang, namun Ketua Dewan Persnya belum nongol-nongol, atau tak kunjung hadir. Jerry bahkan sempat mempertanyakan ketidak-hadiran Dewan Pers tersebut.

“Ini sengaja dilakukan atau takut bersaksi dalam sidang. Mana mungkin pimpinan Dewan Pers tak paham soal kelengkapan berkas administrasi, saat mengeluarkan rekomendasi dan lainnya. Kalau memang sudah tak mampu memimpin lembaga ini, lebih baik step back atau mundur secara gentlemen,” kata peneliti kebijakan publik dari Amerika ini.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Perjalanan Panjang PPWI dan SPRI ‘Menggugat Dewan Pers’ di Pengadilan Negeri Jakpus.

Terkini

Iklan