NEWSGEMAJAKARTA.COM, JAKARTA – Publik kembali diguncang dengan mencuatnya dugaan praktik prostitusi terselubung yang dilakukan oleh Lava Spa, sebuah tempat pijat yang berlokasi strategis di Plaza 2 Pondok Indah, Jakarta Selatan. Namun, yang membuat isu ini semakin panas bukan hanya praktik menyimpang itu sendiri, melainkan lambannya respons dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan aparat penegak hukum.
Pantauan langsung tim jurnalis di lapangan menemukan bahwa hingga hari ini, Lava Spa masih bebas beroperasi dan melayani pelanggan seperti biasa. Dugaan kuat bahwa tempat ini menyelubungkan praktik asusila di balik layanan pijat justru seakan-akan dibiarkan, tanpa tindakan tegas maupun transparansi dari pihak berwenang.
Sorotan tajam kali ini datang dari kalangan akademisi dan pengamat kebijakan publik. Awy Eziary, S.H., S.E., M.M., seorang pemerhati hukum sekaligus akademisi yang lantang menyuarakan isu moral publik, menyatakan kekecewaannya terhadap kinerja aparat yang dinilai lemah dan tidak memiliki keberanian untuk bertindak.
“Kami melihat penanganan yang dilakukan aparat hanya sebatas formalitas. Tidak ada penyelidikan menyeluruh, tidak ada tindakan nyata. Jika dibiarkan, ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga soal kegagalan moral institusi,” tegas Awy pada Jumat (9/5/2025).
Awy bahkan menduga adanya praktik kongkalikong antara pemilik usaha dan oknum petugas yang berwenang, yang menyebabkan terjadinya pembiaran terhadap pelanggaran berat ini. Ia menyatakan akan membawa laporan masyarakat ini langsung ke Gubernur DKI Jakarta dan DPRD sebagai bentuk kontrol sosial.
Investigasi mendalam tim jurnalis mengungkap sistem operasional Lava Spa yang begitu rapi dan tertutup. Pemesanan dilakukan via aplikasi pesan instan, lengkap dengan daftar layanan, harga, dan foto-foto terapis. Tarif bervariasi antara Rp1.300.000 hingga Rp3.900.000 dengan durasi layanan 60 hingga 120 menit. Tak tanggung-tanggung, paket layanan mencakup opsi threesome, hand job, body to body, hingga hubungan seksual penuh.
Yang mencurigakan, semua tarif tersebut telah termasuk “room charge” dengan pilihan kamar VIP hingga VVIP yang merupakan sebuah konsep tidak lazim untuk usaha pijat kesehatan. Seorang narasumber di sekitar lokasi menyindir, “Kalau ini benar-benar pijat kesehatan, untuk apa ada kamar seperti hotel mewah? Ini jelas kemasan legal untuk prostitusi.”
Kekhawatiran publik semakin menguat karena Lava Spa memiliki logo dan konsep yang hampir identik dengan Flam Spa di Bali yang merupakan sebuah tempat pijat yang sudah lebih dulu ditindak aparat pada Oktober 2024 akibat praktik serupa. Dalam penggerebekan Flam Spa, lima orang dijerat dengan UU Pornografi dan KUHP. Kini masyarakat bertanya: Mengapa Lava Spa bisa hidup kembali di Jakarta dengan wajah lama dalam kemasan baru?
“Ini seperti mengganti baju, tapi tubuhnya tetap sama. Dugaan kami, jaringan Flam Spa kini beroperasi kembali lewat nama Lava Spa,” tambah Awy, mendesak penyelidikan lebih dalam terhadap keterkaitan antar bisnis ini.
Lebih ironis lagi, laporan masyarakat melalui aplikasi resmi Pemprov DKI, JAKI, tak berujung tindak lanjut. Ini memperkuat asumsi bahwa suara warga hanya didengar sebatas formalitas, tanpa aksi nyata. Masyarakat bahkan mulai mencurigai bahwa pelanggaran seperti ini dilindungi oleh permainan oknum pejabat tertentu.
“Ini bukan sekadar pelanggaran norma, tetapi ancaman terhadap ketertiban sosial dan kesehatan publik. Jika terus dibiarkan, hukum hanyalah simbol kosong,” tutup Awy.
Kini, sorotan publik mengarah pada Pemprov DKI Jakarta, Satpol PP, dan pihak Kepolisian. Masyarakat menanti bukan sekadar inspeksi dadakan, tetapi tindakan nyata yang transparan dan tuntas. Pertanyaannya, Apakah Pemprov DKI memiliki keberanian untuk membersihkan wajah ibukota dari praktik haram yang membusuk diam-diam ini?
Namun sangat disayangkan, pejabat Dinas dan Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta masih bungkam saat dikonfirmasi wartawan terkait persoalan ini.[rls]